![]() |
| T.M.Zaini, S.Kep., Ns, Mahasiswa Program Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, berpose di halaman kampus, Ist. Indonesia Terbit |
Indonesia Terbit - Kekerasan di tempat kerja terhadap tenaga Kesehatan, khususnya perawat, diakui secara global sebagai masalah serius yang terus meningkat. WHO Bersama ILO, ICN, dan PSI menyatakan bahwa kekerasan terhadap tenaga Kesehatan terjadi di berbagai negara dan tempat pelayanan, terdiri dari kekerasan fisik, verbal, psikologis, hingga kekerasan gender.
Data dari American Nurses Association menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 4 perawat melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik di tempat dimana dia bekerja, sedangkan tenaga Kesehatan dan sosial dilaporkan 5 kali lebih beresiko mengalami cedera akibat kekerasan dibanding pekerja sektor lain.
Di Indonesia, beberapa studi dan laporan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sebuah artikel ilmiah tentang perlindungan hukum tenaga Kesehatan mencatat bahwa pada tahun 2022 terdapat sekitar 134 kasus kekerasan fisik terhadap tenaga medis, dengan sebagian besar insiden terjadi di rumah sakit dan puskesmas.
Komnas Perempuan juga menyoroti kerentanan perawat perempuan, yang mencapai sekitar 71 % dari total perawat Indonesia, yaitu kekerasan termasuk kekerasan seksual, baik itu dilakukan oleh pasien saat pelayanan, keluarga pasien, atasan dan juga sesama rekan kerja.
BENTUK PERILAKU KEKERASAN
- Kekerasan verbal (memaki, mengancam, dan merendahkan)
- Kekerasan fisik (mendorong, memukul, menendang, dan melempar benda)
- Kekerasan psikologis (intimidasi, perundungan serta ancaman)
- Kekerasan seksual (pelecehan secara verbal, sentuhan yang tidak pantas dan permintaan melakukan seksual)
KEBIJAKAN DI INDONESIA
Di Indonesia, beberapa aturan/regulasi yang diatur antara lain:
- Mengatur hak dan kewajiban tenaga medis, tenaga Kesehatan, dan pasien, termasuk hak tenaga Kesehatan atas perlindungan hukum, penghargaan profesi, dan lingkungan kerja yang aman. Pada Pasal 273 ayat (1) (seperti disebut di atas) termasuk hak tenaga kesehatan mendapatkan perlindungan hukum, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, perlindungan atas keselamatan, kesehatan kerja, dan keamanan, serta penghargaan profesi.
- Hak ini menunjukkan bahwa UU 17/2023 memang mengakui pentingnya aspek perlindungan hukum dan keselamatan kerja bagi tenaga kesehatan Mengatur kewajiban rumah sakit untuk menyediakan pelayanan yang bermutu, aman , dan melindungi keselamatan pasien serta petugas.
Selain regulasi nasional yang telah disebutkan, berbagai aturan spesifik di tingkat rumah sakit dan organisasi profesi sebenarnya sudah mengatur mekanisme perlindungan tenaga kesehatan, termasuk prosedur konsultasi (konsul), pelaporan insiden, dan tata kelola keselamatan tenaga kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 Tahun 2019 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit, misalnya, mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk memiliki Komite K3, sistem pelaporan insiden keselamatan kerja, serta prosedur respons cepat terhadap kekerasan yang dialami tenaga kesehatan.
Hal ini dipertegas oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan keselamatan kerja dan dapat melakukan konsul etik maupun konsul hukum melalui jejaring KTKI dan organisasi profesi seperti PPNI.
Di tingkat internal rumah sakit, mayoritas RS tipe B dan tipe A telah menerapkan Komite Etik dan Hukum, Komite Mutu & Keselamatan Pasien (PMKP), serta Unit K3RS yang menetapkan Standar Prosedur Operasional (SPO) pencegahan kekerasan, misalnya SOP Code White (kode darurat untuk kekerasan/agresi) yang telah diadopsi di berbagai RS pemerintah.
SOP ini mengatur langkah perawat ketika menghadapi ancaman kekerasan, alur konsul kepada dokter penanggung jawab, dan mekanisme eskalasi keamanan kepada unit keamanan rumah sakit. Model ini sejalan dengan pedoman WHO (2022) yang menekankan pentingnya integrasi sistem pencegahan kekerasan dalam struktur tata kelola rumah sakit.
Dengan demikian, “gabnya” bukan karena tidak adanya regulasi, tetapi karena belum terstandarnya implementasi di setiap fasilitas pelayanan, lemahnya koordinasi antar unit (misalnya antara perawat, K3RS, keamanan, pimpinan), serta belum adanya harmonisasi yang kuat antara regulasi nasional, regulasi rumah sakit, dan pedoman profesi.
ATASI KESENJANGAN
Meskipun kerangka hukum telah disusun, berbagai kajian menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan nyata antara ketentuan regulasi dan praktik pelaksanaannya dilapangan :
- Penegakan hukum yang belum optimal: pelaku Tindakan kekerasan kerap tidak diproses melalui mekanisme hukum formal, dan Sebagian kasus hanya diselesaikan melalui mediasi informal. Kondisi ini menyebabkan tidak terciptanya efek jera yang semestinya.
- Ketiadaan aturan turunan yang spesifik: Hingga saat ini, belum tersedia peraturan pelaksana yang secara rinci mengatur mekanisme pencegahan, prosedur pelaporan, serta penanganan kekerasan terhadap tenaga Kesehatan di berbagai fasilitas pelayanan.
- Minimnya kegiatan sosialisasi: Banyak tenaga Kesehatan , termasuk perawat, belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai hak-hak hukum mereka maupun prosedur yang harus ditempuh Ketika menghadapi insiden kekerasan.
- Sistem pelaporan yang belum seragam: Tidak semua fasilitas pelayanan memiliki sistem pelaporan insiden kekerasan yang terstandarisasi, mudah diakses, serta mampu menjamin kerahasiaan perlindungan dari risiko pembalasan.
Tinjauan literatur terbaru menunjukkan bahwa secara normatif Indonesia sudah memiliki kerangka regulasi yang memadai untuk melindungi tenaga kesehatan, termasuk perawat.
Namun, berbagai studi empiris menemukan bahwa tantangan utama bukan pada ketiadaan regulasi, melainkan pada lemahnya implementasi di tingkat operasional. Sebuah studi Q1 oleh Al-Qahtani et al. (2021) dalam International Journal of Nursing Studies menunjukkan bahwa banyak negara, termasuk negara berkembang, menghadapi “implementation gap” dalam pencegahan kekerasan di fasilitas kesehatan meskipun regulasi formal tersedia.
Fenomena yang sama juga ditemukan di Indonesia, dimana SOP, panduan K3, dan pedoman pencegahan kekerasan seringkali belum diterapkan secara konsisten di unit-unit kerja.
Selain itu, laporan WHO (2022) menegaskan bahwa ketidaksinkronan antara kebijakan
nasional dan kapasitas implementasi di lapangan, misalnya kurangnya pelatihan keamanan, kurangnya sumber daya keamanan, serta budaya organisasi yang permisif menjadi faktor dominan dalam kegagalan penerapan perlindungan tenaga kesehatan.
Dengan demikian, permasalahan utama bukan karena Indonesia tidak memiliki aturan, tetapi karena sebagian besar aturan tersebut belum dilembagakan secara kuat dalam praktik sehari-hari.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Tingkat Nasional :
- Penyusunan Peraturan Pelaksanaan yang spesifik mengenai Perlindungan Tenaga Kesehatan dari Kekerasan,
- Penguatan mekanisme penegakan hukum,
- Pengembangan sistem pelaporan nasional kekerasan terhadap tenaga Kesehatan,
- Kampanye nasional” Zero Tolerance for Violence against Health Workers”
Tingkat Organisasi/fasilitas Kesehatan
- Implementasi kebijakan Zero Tolerance di Rumah Sakit dan Puskesmas,
- Penyusunan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan,
- Peningkatan keamanan fisik dan sistem pendukung,
- Pelatihan rutin bagi perawat dan tim Kesehatan.
Agar rekomendasi kebijakan dapat berjalan hingga unit pelayanan terendah (grass root), diperlukan strategi implementasi berlapis yang melibatkan pemerintah, manajemen fasilitas kesehatan, organisasi profesi, hingga unit kerja terkecil.
WHO (2022) dan ICN (2023) menekankan bahwa tata kelola implementasi kebijakan pencegahan kekerasan harus dilakukan melalui pendekatan sistemik: regulasi SOP pelatihan, monitoring, evaluasi, umpan balik.
Model ini terbukti efektif di berbagai negara dalam menurunkan insiden kekerasan hingga 40%.
Pengawalan kebijakan dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme berikut:
- Integrasi kebijakan ke dalam indikator kinerja rumah sakit (IKP) termasuk indikator keselamatan tenaga kesehatan, jumlah pelaporan kekerasan, response Code White, dan tindak lanjut kasus.
- Audit rutin dan supervisi lapangan. audit PMKP, audit K3RS, serta supervisi oleh Dinas Kesehatan perlu dilakukan minimal triwulan untuk memastikan SOP berjalan pada seluruh unit.
- Peningkatan kapasitas perawat di tingkat unit kerja. Pelatihan de-eskalasi, komunikasi terapeutik, dan manajemen agresi harus diwajibkan bagi seluruh perawat, tidak hanya level manajerial. Pelatihan berbasis simulasi terbukti efektif menurunkan kejadian agresi (Al-Qahtani et al., 2021; Q1).
- Penyediaan mekanisme pelaporan yang aman dan tidak berisiko retaliasi. Pelaporan dapat dilakukan melalui sistem digital anonim, hotline rumah sakit, atau integrasi ke aplikasi nasional Kemenkes (mis. SIKDA). WHO (2023) menyebut mekanisme anti-retaliasi sebagai elemen krusial dalam keberhasilan implementasi.
- Keterlibatan organisasi profesi (PPNI). PPNI perlu mengawal implementasi hingga level unit kerja melalui advokasi, pendampingan hukum, monitoring kasus, serta publikasi laporan tahunan kekerasan terhadap perawat.
- Penguatan budaya organisasi. Pimpinan rumah sakit harus menetapkan budaya “zero tolerance” dengan dukungan nyata seperti keberadaan petugas keamanan, sistem alarm, dan penanganan cepat terhadap pelaku. Budaya organisasi yang kuat berkontribusi signifikan dalam penurunan kekerasan (Zhang et al., 2021; Q1).
- Kemitraan lintas sektor. Fasilitas kesehatan harus membangun kerja sama dengan kepolisian, pemerintah daerah, Komnas Perempuan, dan lembaga perlindungan tenaga kerja untuk memperkuat jalur penanganan kasus.
KESIMPULAN
Kekerasan terhadap perawat di berbagai fasilitas pelayanan Kesehatan merupakan persoalan multidimensional yang tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan tenaga keperawatan, tetapi juga kualitas pelayanan serta efektivitas sistem Kesehatan secara keseluruhan.
Meskipun kerangka regulasi nasional telah mengakui hak tenaga Kesehatan untuk memperoleh perlindungan, kenyataannya pelaksanaan kebijakan tersebut masih menghadapi berbagai hambatan di lapangan.
Oleh karena itu, penguatan kebijakan pada Tingkat nasional, institusi Kesehatan, hingga organisasi profesi menjadi Langkah yang sangat mendesak. Upaya tersebut perlu diselaraskan dengan standar dan pedoman internasional sehingga perawat dapat bekerja dalam lingkungan yang aman, bermanfaat, dan mendukung terlaksananya praktik profesional yang optimal.
Referensi
- Al-Qahtani, N. H., Al-Qahtani, A. A., & Alshahrani, M. M. (2021). Workplace violence against nurses in healthcare facilities: A systematic review. International Journal of Nursing Studies, 120, 103984. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2021.103984
- American Nurses Association. (2019). Workplace violence and incivility in health care: Position statement. American Nurses Association.
- Hadi, A. P., & Suwandi, T. (2022). Faktor risiko terjadinya kekerasan terhadap perawat di instalasi gawat darurat. Jurnal Keperawatan Indonesia, 25(1), 34–42.
- International Council of Nurses. (2021). Preventing workplace violence. ICN Publications.
- International Council of Nurses. (2023). Addressing violence against nurses: Global policy brief. ICN.
- International Labour Organization, World Health Organization, International Council of Nurses, & Public Services International. (2002). Framework guidelines for addressing workplace violence in the health sector. ILO/WHO/ICN/PSI.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 Tahun 2019 tentang keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit (K3RS).
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan.
- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2025). Siaran pers: Lindungi perawat dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender di dunia kerja. Komnas Perempuan.
- Mutia, D., & Rosmalinda. (2023). Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan terhadap tindakan kekerasan di Indonesia. Jurnal Assyiyadah, 4(2), 112–123.
- Rahmadani, N., & Ramdhani, A. (2023). Dampak kekerasan verbal terhadap stres kerja perawat di ruang rawat inap. Jurnal Keperawatan Medikal Bedah, 11(2), 87–96.
- Spector, P. E., Zhou, Z. E., & Che, X. X. (2014). Nurse exposure to physical and nonphysical violence, bullying, and sexual harassment: A quantitative review. International Journal of Nursing Studies, 51(1), 72–84. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2013.01.010
- World Health Organization. (2019). Patient safety: Global action plan 2021–2030. WHO.
- World Health Organization. (2022a). Preventing violence against health workers: Evidence brief. WHO Press.
- World Health Organization. (2022b). Preventing violence against health workers: Evidence-based strategies. WHO Press.
- World Health Organization. (2023). Workplace violence in health sector: Implementation strategies. WHO.
- Zhang, L., Wang, A., Xie, X., Zhou, Y., Li, J., Yang, L., & Zhang, J. (2021). Workplace violence against nurses: A cross-sectional survey. International Journal of Nursing Studies, 115, 103842. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2020.103842.
Penulis : T.M.Zaini, S.Kep., Ns.
Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Mahasiswa Program Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
